Senin, 31 Januari 2011

Genk Cinta, Cinta Genk -- Scene 2



Genk “Hitam”, kami sempat menyebut nama genk itu sekali. Selanjutnya, kami sering menyebut genk kami dengan sebutan “kene” (dalam bahasa Jawa artinya ‘kita’). Personelnya secara lengkap sulit untuk kami definisikan, tapi yang merupakan anggota yang selalu ada adalah 4 orang, yang lain boleh dikatakan sebagai kumpulan kami tapi masih timbul tenggelam. 2 tahun kami sekelas, bahkan Fahmi, saya dan Handoko adalah absen berurutan. Personil satunya lagi adalah Kukuh.

Sejak masuk SMA kelas 1, hari pertama MOS, Fahmi dan Handoko sudah dicap “biang kerok” oleh kakak kelas pendamping kelas kami, kelas 1-6. Saya dan Kukuh masih terlihat polos, bahkan saat itu saya dipilih dengan cara voting untuk jadi ketua kelas dan Kukuh jadi sekretarisnya. Waktu berjalan dan keanehan terus bermunculan. Tiga bulan pertama, Fahmi sudah ditonjok kelas 3 tanpa alasan jelas, Handoko sudah dicap “penjahat” karena memalak dan menantang orang adalah makanan sehari-harinya, Kukuh membawa anak SMA lain masuk ke sekolah, dan saya, cukuplah bermasalah dengan satu kelas anak kelas 2. Selanjutnya sudah menjadi hal yang wajar kalau kami bermasalah, dari akan membunuh orang, skorsing tidak boleh ikut matematika selama 1 bulan, menenggak minuman, menempel semua dinding belakang kelas dengan Koran, main kartu di belakang saat guru mengajar, hingga cabut sekolah setelah jam pelajaran ke 3, menjadi agenda buruk personil maupun kelompok.

Sekarang semua tinggallah cerita lalu yang lucu. Sosok Handoko, seorang katolik taat yang juga seorang yatim, sekarang lebih dewasa (bukan karena dia kelahiran 1984 lho). Sebagai pegawai Djarum, Handoko yang terbiasa hidup keras, mampu bertahan dan menjadi pegawai yang rajin dan toleran. Usaha sampingan banyak dijalaninya untuk menghidupi keluarganya. Minuman keras ditinggalkannya, memalak dilupakannya dan perkelahian adalah kekanak-kanakan baginya. Masih banyak sisa kegilaannya, tapi Handoko sekarang adalah orang yang mengerti arti hidup karena diajari oleh hidup.
Fahmi sekarang telah menjadi pegawai anak perusahaan Pertamina di Cepu yang gajinya melebihi lulusan D3 STAN yang masih “hijau”. Fahmi adalah lulusan D3 Teknik Kimia Undip, ayahnya sudah meninggal dan punya tubuh gempal. Fahmi adalah teman prinsip saya saat teman yang lain mau melakukan hal yang nyata haram, Fahmi dan Saya selalu memohon maaf kepada teman yang lain untuk “hanya” menemani, sebagai solidaritas kami.

Kukuh, keponakan seorang Wakapolda, sejak SMA sudah menggemborkan masuk Akademi Kepolisian, karena memang tubuhnya yang tinggi (184 cm), jadi saat SMA hanya menjadi tempat mainan untuknya. Ternyata tahun pertama gagal dan dia dijanjikan tahun kedua pasti masuk Akpol. Tapi ternyata tahun kedua gagal juga, padahal kuliahnya di D3 Teknik Mesin Undip sudah diabaikannya dengan meninggalkan IP Nasakom (Nilai Satu Koma). Kekasihnya kemudian meninggalkannya, dan setahun yang lalu dia menjadi Supir serabutan maupun kenek Truk. Secara ekonomi, Kukuh adalah yang paling berada di antara kami, tapi dia mencoba melakukan yang dia bisa agar tidak menganggur di rumah. Motivasinya kemudian meningkat setelah tahu bagaimana susahnya mencari uang. Kukuh kini sedang menjalani pendidikan kedokteran di semester 2. “Tak ada kata terlambat untuk memulai”, itulah kata terakhir yang sempat dia ucapkan sebelum kemarin terakhir kami bertemu mengenang masa lalu “Genk Hitam”.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada personil genk ini bagi saya sangat mencengangkan. Entah motivasi apa yang ada, tetapi semua orang yang saat SMA pernah mengenal kami dan selalu berkata “Mau jadi apa kalian nanti kalau begitu terus?”, sekarang tercengang dan berkata “Hidup adalah Roda”.

Tak selamanya keburukan berakhir dengan keburukan, karena keburukan hanyalah konstanta, dan kebaikan adalah hasilnya, tergantung seberapa besar variabel yang mempengaruhi hasil mampu lebih tinggi dari konstanta.

1 komentar: