Kamis, 20 Januari 2011

Anjing Kencing di Kepala Majikan

Tanggal 18 Agustus 1996 di sebuah koran harian terbit sebuah berita yang saat bulan pertama terasa “biasa saja”. Artikel trilogi Dark Alliance yang bercerita tentang obat bius dalam dunia kulit hitam Amerika Serikat muncul dalam dua edisi, internet dan edisi cetak secara bersamaan. Dan itu menjadi koran pertama yang muncul di dua sarana media yang berbeda. Gary Webb, Sang Penulis yang berprofesi sebagai reporter investigatif menjadi sangat tenar setelah 1,3 juta pengunjung dalam mediaWorld Wide Web (www)-nya terus menyapanya di e-mail. Kejutan dari artikel ini adalah terlibatnya orang-orang dalam CIA dan mafia Nikaragua dalam pengedaran obat bius di kawasan kumuh maupun elit orang kulit hitam. Ya, konspirasi akan selalu berujung kontroversi. 


Kontan berita itu menggegerkan dunia, demonstrasi kulit hitam terjadi dimana-mana, jurnalis-jurnalis ternama menganalisis sisi investigasi dan subyektivitas artikel ini, tetapi Gary tetap berpegang teguh bahwa ada Mesin Mighty Wurlitzer (penyimpangan informasi oleh agen intelejen dan manipulasi sistemik dan rahasia dalam info eksternal). Kurang lebih mirip kasus “Gurita Cikeas” tapi kali ini bersifat internasional dan masalah utamanya adalah kelebihan dunia maya dalam media informasi.


Kejutan-kejutan dalam media seperti itu adalah biasa dan sejak dulu telah terjadi. Gary memang seorang independen, tanpa harus ditedengalang-alangi sebuah kepentingan yang membelenggunya. Tapi apabila sebuah media “wajib” ditunggangi kepentingan, itulah yang menjadi masalah pertarungan idealisme jurnalistik dan loyalitas. TVRI dan RRI tentu akan “kesulitan” berdiri tegak jika ada faktor kepentingan. Sebagai media milik pemerintah, pemberitaan dan kebutuhan tentu dikendalikan. Rupanya keinginan Tantowi Yahya untuk mengangkat TVRI dan RRI sebagai “publik yang privat” sulit terwujud. Dengan embel-embel “pemerintah”, TVRI dan RRI tak mungkin bersikap abu-abu. Tak mungkin mobil jalan tanpa bensin meskipun punya sopir.

Saat sebuah media yang wajib diboncengi kemudian meninggalkan Sang Pembonceng sendirian, maka Sang Media wajib melepaskan dirinya dari ketergantungannya dengan Sang Pembonceng dan bersikap independen. Kita tentu masih ingat tentang kisah sebuah kapal besar yang membagi menjadi 3 kelas dalam perjalanan panjang. Kelas Eksekutif, Medium dan Ekonomi. Eksekutif di tempat paling atas dengan kemewahannya dan serba lengkap, medium di bawahnya, dan ekonomi di paling bawah dengan keterbatasannya. Di tengah perjalanan, kelas ekonomi mengalami kehabisan persedian air bersih. Akhirnya dibuatlah lubang kecil di kapal untuk mengambil air dari laut, kelas eksekutif yang tahu berita itu tak peduli dan berpikir “ah..tidak apa-apa cuma lubang kecil”. Tapi karena kelas ekonomi penumpangnya banyak, maka tak cukup satu lubang. Akhirnya tiap orang mencoba membuat lubang sendiri dan kapal akhirnya tenggelam. Sebuah gejolak kecil di tingkatan terbawah ditambah dengan tindakan tingkatan atas tidak peduli akan membawa kekaraman yang menyeramkan.
       Pertarungan idealisme jurnalis dan loyalitas itu harus dihilangkan dengan sebuah ketetapan hati akan sebuah pilihan. Kalau memang harus abu-abu, beritakanlah kepada pembaca untuk “Percaya boleh, Gak Percaya Monggo” dan bersiaplah menjadi anjing kencing di kepala majikan. Jadi sekarang kita tinggal berpikir, apakah SBY benar-benar menjadi Angel of Communication Political Skill  sehingga banyak media luar negeri yang memberi penghargaan sedangkan media di Indonesia tak ada yang memberi SBY penghargaan, apakah Sri Mulyani benar menjadi “The Best Minister of Finance” se-Asia karena kinerjanya. Dan kisah bunuh dirinya Kurt Cobain karena benci ketenaran adalah sebuah realita atau sandiwara Courtney Love-istrinya. Satu yang harus kita jaga “Jangan mudah termakan media”

2 komentar: