Senin, 31 Januari 2011

Genk Cinta, Cinta Genk -- Scene 2



Genk “Hitam”, kami sempat menyebut nama genk itu sekali. Selanjutnya, kami sering menyebut genk kami dengan sebutan “kene” (dalam bahasa Jawa artinya ‘kita’). Personelnya secara lengkap sulit untuk kami definisikan, tapi yang merupakan anggota yang selalu ada adalah 4 orang, yang lain boleh dikatakan sebagai kumpulan kami tapi masih timbul tenggelam. 2 tahun kami sekelas, bahkan Fahmi, saya dan Handoko adalah absen berurutan. Personil satunya lagi adalah Kukuh.

Sejak masuk SMA kelas 1, hari pertama MOS, Fahmi dan Handoko sudah dicap “biang kerok” oleh kakak kelas pendamping kelas kami, kelas 1-6. Saya dan Kukuh masih terlihat polos, bahkan saat itu saya dipilih dengan cara voting untuk jadi ketua kelas dan Kukuh jadi sekretarisnya. Waktu berjalan dan keanehan terus bermunculan. Tiga bulan pertama, Fahmi sudah ditonjok kelas 3 tanpa alasan jelas, Handoko sudah dicap “penjahat” karena memalak dan menantang orang adalah makanan sehari-harinya, Kukuh membawa anak SMA lain masuk ke sekolah, dan saya, cukuplah bermasalah dengan satu kelas anak kelas 2. Selanjutnya sudah menjadi hal yang wajar kalau kami bermasalah, dari akan membunuh orang, skorsing tidak boleh ikut matematika selama 1 bulan, menenggak minuman, menempel semua dinding belakang kelas dengan Koran, main kartu di belakang saat guru mengajar, hingga cabut sekolah setelah jam pelajaran ke 3, menjadi agenda buruk personil maupun kelompok.

Sekarang semua tinggallah cerita lalu yang lucu. Sosok Handoko, seorang katolik taat yang juga seorang yatim, sekarang lebih dewasa (bukan karena dia kelahiran 1984 lho). Sebagai pegawai Djarum, Handoko yang terbiasa hidup keras, mampu bertahan dan menjadi pegawai yang rajin dan toleran. Usaha sampingan banyak dijalaninya untuk menghidupi keluarganya. Minuman keras ditinggalkannya, memalak dilupakannya dan perkelahian adalah kekanak-kanakan baginya. Masih banyak sisa kegilaannya, tapi Handoko sekarang adalah orang yang mengerti arti hidup karena diajari oleh hidup.
Fahmi sekarang telah menjadi pegawai anak perusahaan Pertamina di Cepu yang gajinya melebihi lulusan D3 STAN yang masih “hijau”. Fahmi adalah lulusan D3 Teknik Kimia Undip, ayahnya sudah meninggal dan punya tubuh gempal. Fahmi adalah teman prinsip saya saat teman yang lain mau melakukan hal yang nyata haram, Fahmi dan Saya selalu memohon maaf kepada teman yang lain untuk “hanya” menemani, sebagai solidaritas kami.

Kukuh, keponakan seorang Wakapolda, sejak SMA sudah menggemborkan masuk Akademi Kepolisian, karena memang tubuhnya yang tinggi (184 cm), jadi saat SMA hanya menjadi tempat mainan untuknya. Ternyata tahun pertama gagal dan dia dijanjikan tahun kedua pasti masuk Akpol. Tapi ternyata tahun kedua gagal juga, padahal kuliahnya di D3 Teknik Mesin Undip sudah diabaikannya dengan meninggalkan IP Nasakom (Nilai Satu Koma). Kekasihnya kemudian meninggalkannya, dan setahun yang lalu dia menjadi Supir serabutan maupun kenek Truk. Secara ekonomi, Kukuh adalah yang paling berada di antara kami, tapi dia mencoba melakukan yang dia bisa agar tidak menganggur di rumah. Motivasinya kemudian meningkat setelah tahu bagaimana susahnya mencari uang. Kukuh kini sedang menjalani pendidikan kedokteran di semester 2. “Tak ada kata terlambat untuk memulai”, itulah kata terakhir yang sempat dia ucapkan sebelum kemarin terakhir kami bertemu mengenang masa lalu “Genk Hitam”.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada personil genk ini bagi saya sangat mencengangkan. Entah motivasi apa yang ada, tetapi semua orang yang saat SMA pernah mengenal kami dan selalu berkata “Mau jadi apa kalian nanti kalau begitu terus?”, sekarang tercengang dan berkata “Hidup adalah Roda”.

Tak selamanya keburukan berakhir dengan keburukan, karena keburukan hanyalah konstanta, dan kebaikan adalah hasilnya, tergantung seberapa besar variabel yang mempengaruhi hasil mampu lebih tinggi dari konstanta.

Rabu, 26 Januari 2011

Genk Cinta, Cinta Genk --- Scene 1

Yesterday is History, Tomorrow is Mistery (kata ini pertama kali saya baca di buku pembukaan profil Angkatan Laut Republik Indonesia tahun 2005). Ya, seberapapun jeleknya seseorang, kesempatan untuk berubah selalu ada dan berada di sampingnya mengikuti kejelekannya.



Waktu SMA, saya bergabung secara alamiah dengan 4 genk (yang saya ingat). Genk 1 adalah Genk Hura-hura, anggotanya adalah orang-orang yang punya visi petualang, ada 9 orang anggota tetap, 5 putra, 4 putri. Genk ini khusus mendedikasikan waktunya untuk jalan-jalan dan liburan ke tempat berbeda tiap ada kesempatan. Sampai sekarang pun setiap tahun masiih menjalankan ritual pasca lebaran, mengunjungi tempat yang berbeda-beda di kota yang berbeda. pernah ke Purwodadi naik mobil VW Combi, mantap. Tapi yang paling menyebalkan dari perjalanan yang pernah kami lakukan adalah ketika mencari ikan bakar di Pantai Kartini Jepara ternyata sampai berjam-jam tidak ketemu yang pas, akhirnya kami pulang ke Kudus dan makan di Pasar Kliwon, yang jarak tempuhnya cuma 50 detik jalan kaki dari rumah saya...

Genk 2 adalah Genk OSIS, orang-orang menyebutnya seperti itu. 16 orang pengurus inti OSIS berkumpul hampir setiap hari selama 1 tahun, dan “feel” itu masih terbawa sampai sekarang dan bahkan kami sempat punya permainan “mengejar matasapi”, kami yang cowok bersembilan orang lomba lari memutari letter U lantai 2 SMA kami dengan suasana kompetisi yang hangat. Majemuknya tipe 9 putra didampingi 7 putri ini membuat saya lebih tahu arti perbedaan dan melatih musyawarah mufakat, karena keputusan yang kita ambil tidak pernah berasal dari voting. Teman-teman saya sering menyebut saya "pembangkang" karena hampir selalu berbeda pendapat dengan pembina OSIS yang menurut saya (menurut teman-teman juga begitu) kontroversial. Mungkin bedanya, teman saya mampu menyimpan hingga terus ditahan, kalau saya, saya serang langsung.

Genk 3 adalah genk Pramuka, Jodhipati-Candrasari tepatnya. Saat saya SMA, pramuka bukan ekstrakurikuler  wajib. Meskipun ambalan kami selalu ditawari pihak sekolah untuk menjadi ekstrakurikuler wajib, tapi kami menolak. Kami lebih senang punya 10 ekor singa daripada 1000 ekor kambing. Kekuatan kekeluargaan kami (alumni, dewan ambalan, maupun anggotanya) sangat kuat. Ada salah satu dari 19 prinsip yang kami pegang yaitu “Kita berambalan untuk bersatu, bersaudara, dan berkarya”. Di sini pramuka adalah “STPDN mini”, kami dilatih fisik dan mental dengan cara-cara yang boleh dibilang ekstrim dan radikal. Tapi itu semua membuat kami menjadi lebih “ganas”. Kegiatan ambalan kami dipisah antara Jodhi (putra) dan Candra (putri) meskipun beberapa hal  disatukan. Kami diposisikan Candra adalah adik Jodhi, yang membuat Jodhi harus mengawal pulang Candra kalau sampai lebih dari jam 7 malem. 16 Jodhipati dan 13 Candrasari, itulah skuad kami.

Genk keempat mungkin bisa dibilang bener2 genk dalam arti sempit. Kata “genk” sering diartikan negatif oleh banyak orang, terkesan serem, suka hura-hura, suka cari masalah, berantem, kumpul-kumpul nggak jelas atau yang lain yang lebih parah. Genk “Hitam”, dulu kami menyebutnya begitu, tapi hanya kami yang tahu nama itu, setelah itu, tak ada nama untuk genk ini. Kami lebih sering menyebut dengan “kene” (bahasa jawa: artinya “kita”). Sempat tempur dengan tingkat 3 saat kami tingkat 1, ini membuat nama kami ‘ditakuti’. Kelas 2 lagi-lagi tempur dengan tingkat 3, dan ketika tingkat 3 kami berprinsip “jangan ganggu macan yang sedang tidur”, selama mereka tidak membangunkan kami, kami tak akan menggigit. Saya masih ingat benar ketika tingkat 2 kami hampir menghilangkan nyawa orang hanya karena sebab yang lucu, olahraga. Penyebab utamanya bukan karena olahraganya, tapi karena pihak “lawan” mencoba mengeroyok salah satu anggota kami. Pemikiran pendek dan instan, menggunakan kekuatan fisik untuk meraih tujuan, mengedepankan teman di atas yang lain, menghormati yang berbeda agama, hilangnya rasa takut saat bermaksiat, dan banyak hal lain yang menjadikan saya juga belajar sangat banyak dari sini. Sekarang, justru genk inilah yang sangat luar biasa. Luar biasa…luar biasa…luar biasa…. (akan diceritakan khusus)

Kamis, 20 Januari 2011

Anjing Kencing di Kepala Majikan

Tanggal 18 Agustus 1996 di sebuah koran harian terbit sebuah berita yang saat bulan pertama terasa “biasa saja”. Artikel trilogi Dark Alliance yang bercerita tentang obat bius dalam dunia kulit hitam Amerika Serikat muncul dalam dua edisi, internet dan edisi cetak secara bersamaan. Dan itu menjadi koran pertama yang muncul di dua sarana media yang berbeda. Gary Webb, Sang Penulis yang berprofesi sebagai reporter investigatif menjadi sangat tenar setelah 1,3 juta pengunjung dalam mediaWorld Wide Web (www)-nya terus menyapanya di e-mail. Kejutan dari artikel ini adalah terlibatnya orang-orang dalam CIA dan mafia Nikaragua dalam pengedaran obat bius di kawasan kumuh maupun elit orang kulit hitam. Ya, konspirasi akan selalu berujung kontroversi. 


Kontan berita itu menggegerkan dunia, demonstrasi kulit hitam terjadi dimana-mana, jurnalis-jurnalis ternama menganalisis sisi investigasi dan subyektivitas artikel ini, tetapi Gary tetap berpegang teguh bahwa ada Mesin Mighty Wurlitzer (penyimpangan informasi oleh agen intelejen dan manipulasi sistemik dan rahasia dalam info eksternal). Kurang lebih mirip kasus “Gurita Cikeas” tapi kali ini bersifat internasional dan masalah utamanya adalah kelebihan dunia maya dalam media informasi.


Kejutan-kejutan dalam media seperti itu adalah biasa dan sejak dulu telah terjadi. Gary memang seorang independen, tanpa harus ditedengalang-alangi sebuah kepentingan yang membelenggunya. Tapi apabila sebuah media “wajib” ditunggangi kepentingan, itulah yang menjadi masalah pertarungan idealisme jurnalistik dan loyalitas. TVRI dan RRI tentu akan “kesulitan” berdiri tegak jika ada faktor kepentingan. Sebagai media milik pemerintah, pemberitaan dan kebutuhan tentu dikendalikan. Rupanya keinginan Tantowi Yahya untuk mengangkat TVRI dan RRI sebagai “publik yang privat” sulit terwujud. Dengan embel-embel “pemerintah”, TVRI dan RRI tak mungkin bersikap abu-abu. Tak mungkin mobil jalan tanpa bensin meskipun punya sopir.

Saat sebuah media yang wajib diboncengi kemudian meninggalkan Sang Pembonceng sendirian, maka Sang Media wajib melepaskan dirinya dari ketergantungannya dengan Sang Pembonceng dan bersikap independen. Kita tentu masih ingat tentang kisah sebuah kapal besar yang membagi menjadi 3 kelas dalam perjalanan panjang. Kelas Eksekutif, Medium dan Ekonomi. Eksekutif di tempat paling atas dengan kemewahannya dan serba lengkap, medium di bawahnya, dan ekonomi di paling bawah dengan keterbatasannya. Di tengah perjalanan, kelas ekonomi mengalami kehabisan persedian air bersih. Akhirnya dibuatlah lubang kecil di kapal untuk mengambil air dari laut, kelas eksekutif yang tahu berita itu tak peduli dan berpikir “ah..tidak apa-apa cuma lubang kecil”. Tapi karena kelas ekonomi penumpangnya banyak, maka tak cukup satu lubang. Akhirnya tiap orang mencoba membuat lubang sendiri dan kapal akhirnya tenggelam. Sebuah gejolak kecil di tingkatan terbawah ditambah dengan tindakan tingkatan atas tidak peduli akan membawa kekaraman yang menyeramkan.
       Pertarungan idealisme jurnalis dan loyalitas itu harus dihilangkan dengan sebuah ketetapan hati akan sebuah pilihan. Kalau memang harus abu-abu, beritakanlah kepada pembaca untuk “Percaya boleh, Gak Percaya Monggo” dan bersiaplah menjadi anjing kencing di kepala majikan. Jadi sekarang kita tinggal berpikir, apakah SBY benar-benar menjadi Angel of Communication Political Skill  sehingga banyak media luar negeri yang memberi penghargaan sedangkan media di Indonesia tak ada yang memberi SBY penghargaan, apakah Sri Mulyani benar menjadi “The Best Minister of Finance” se-Asia karena kinerjanya. Dan kisah bunuh dirinya Kurt Cobain karena benci ketenaran adalah sebuah realita atau sandiwara Courtney Love-istrinya. Satu yang harus kita jaga “Jangan mudah termakan media”

Aku Wanita Bukan Susila

Gaunku tak selalu melekat megah sempurna
Usiaku tak melulu berhias mewah cinta sesungguhnya
Namun entah mengapa setapak mega menculik pandangan mata jiwaku
Aku....
Wanita....
Aku....
Nyata untukmu....                 




Kawah-kawah panas terus menggelayuti padasan rumah kami                
Untaian nadi dan tulang lapar menggunung dalam bukit surau kami                
Riakku kutelan sendiri                
Nanahku kubasuh tertepi                
Ikrar sejenak itu telah ternodai dalam keheningan                
Andaikan mata ini tak mampu terang, aku menyesal...



Seketika air tenang jiwa meleleh dalam kelembutan kulit manisku
Aku menyapa cantikku dan gagahku, merekaku, termenung....
Termenung sejenak kemudian menelaah mataku dan membisu
Rasaku menyakiti aku, dia dan engkau kemudian....
Ingin ku kembali pulang dalam gerombolan mawar tak bertuan
Asap kelebat cepat menghujam setiap hembusan kenodaan 
Dan inginku segera mengakhiri semua
Ingin.....

(Terinspirasi dari kisah nyata seorang ibu yang punya dua anak dan ditinggal suaminya entah kemana. Sang Ibu kemudian mencari kerja dan bekerja di diskotek. Kedua anaknya dititipkan di panti asuhan. Ketika Sang Ibu pulang, dia malah dicaci masyarakat sekitar dan ditangkap polisi karena dianggap menelantarkan anak)

Rabu, 19 Januari 2011

Bisakah Kamu Menjadi Istri Sukarno?

Ditakuti lawan, disegani kawan, dipuja rakyat dan disanjung dunia. Ya, seorang Sukarno, yang lahirnya bernama “Soekarno” adalah sosok yang sangat kita hafal. Peci hitam, kacamata elegan, berdiri tegap menggunakan baju kebesarannya, menatap tajam dan gemulai setiap hentakan mata yang melihatnya. Dia adalah salah satu generasi emas bangsa Indonesia, ya…generasi emas.

Di balik Sukarno adalah dua orang luar biasa pula yang selalu mendukung hidupnya dengan pendidikan yang tegas dan lembut, sosok bapak dan ibunya. Bapaknya seorang bangsawan keraton dan ibunya seorang yang berkasta tinggi di Bali. Bercampurnya darah kebangsawanan dalam diri Sukarno tak pelak membuat kewibawaannya mampu mencengangkan dunia. Megawati kemudian mengalir mengikuti Bapaknya, begitu pula “Sang Maestro” Guruh Sukarno Putra, yang mewarisi jiwa seni dan kemampuan menggoyah Sang Hawa.

Sukarno membangun dan dibangun generasi. Tapi tahukah Anda, Sukarno pernah gagal membangun sebuah generasi demi sebuah “keegoisan” jiwa membaranya. Pernikahan pertama Sukarno adalah bukti kegagalannya dalam membangun atau membentuk karakter seseorang demi mengimbangi dirinya. Sukarno “terpaksa” menikahi putri dari HOS Cokroaminoto, setelah istri dari HOS meninggal dan HOS terlihat sangat terpukul. Satu-satunya jalan menyelematkan kekalutan HOS adalah dengan menikahi putri dari HOS, Sukarno menjalaninya.

Seiring berjalannya waktu, Sukarno yang menikahi putri HOS yang saat itu masih belia, benar-benar bukan menjadi istri yang seutuhnya bagi Sukarno. Di bukunya, Sukarno menyatakan bahwa istrinya itu masih terlalu muda, tidak bisa mengimbangi cara pikir Sukarno yang menurutnya sangat cepat dan maju. Sukarno merasa berjuang sendirian tanpa dukungan istrinya. Ya, Sukarno mengeluh…..dan akhirnya diakhirilah semuanya tanpa Sukarno pernah menyentuh istrinya.

Ketika orang tua kita “bukan apa-apa” menurut orang lain –karena pastinya mereka adalah orang luar biasa bagi kita-, yakinlah bahwa kita lah yang akan membawa kebanggaan kedua orang tua kita bahwa anaknya adalah seorang yang mampu melahirkan generasi emas karena telah dilahirkan oleh generasi yang lebih emas. Bukan tentang
“siapa orang tua kita” tapi tentang “siapa anak kita”. Ketika kita dipaksa memilih sebuah pilihan visioner dalam hidup dan kita merasa tidak dapat mengimbangi apa yang kita inginkan, maka kita harus menjadi lebih luar biasa lagi dari seorang yang dilahirkan generasi emas. KITA HARUS MELAHIRKAN GENERASI EMAS

Yakinlah…kadang-kadang mencintai seorang yang kamu cintai adalah dengan cara mencintai orang yang tidak kamu cintai… 

Dakwah Dalam Seni : Kisah Raja Dangdut dan Robinhood Jawa

Dua-duanya sama-sama Raden, yang satu Raden Haji Oma Irama (Rhoma Irama) bergelar Raja Dangdut, dan yang satu Raden Said (Sunan Kalijaga) bergelar Robinhood Jawa (gelar dari penulis). Raden berasal dari kata Roaddin yang artinya lihat agama, atau pengetahuan agama. Konsekuensinya tentu sang pemilik gelar harus benar-benar “melek” agama. 





Rhoma Irama mulai mendapat gelar Raja Dangdut (sesuai judul filmnya tahun 1977) setelah berhasil mengeruk musik yang saat itu disebut musik kampungan menjadi sebuah genre musik baru yang mampu berkolaborasi antara rock dan melayu. Setelah pulang dari haji tahun 1975 tak pelak nama Rhoma Irama terus melambung seiring dedikasinya pada musik dangdut dan membawa jutaan orang tergila-gila dengan musik dangdut dan hasilnya setiap konsernya tak kurang dari 50.000an orang hadir. Kecenderungan syairnya yang syiar mengenduskan nafas Islam dalam lirik-liriknya seperti pada lagu Modern “tak sembahyang bukan modern, tapi suatu keingkaran/urakan bukanlah modern, bahkan nyaris seperti hewan“. Atau pada lagu Emansipasi Wanita, “majulah wanita, giatlah bekerja, namun jangan lupa, tugasmu utama/apa pun dirimu, namun kau adalah ibu rumah tangga..“. Kemampuannya mengolah seni menjadi penyampaian syiar mengundang decak kagum banyak orang, bahkan Rhoma Irama pernah menyampaikan pandangannya tentang terorisme yang dipresentasikan dalam seminar dan dibukukan oleh salah satu Universitas di Amerika. Media Amerika menjuluki Rhoma sebagai Michael Jackson-nya Indonesia.

Raden Said atau Sunan Kalijaga tak kalah keren dalam mengangkat seni untuk berdakwah. Wayang dengan lakon Jimat kalimasada, Petruk Jadi Raja atau Dewa Ruci memberikan sentuhan Islam yang menarik bagi kalangan marjinal di Pulau Jawa dan membuat wayang (beserta gamelannya) menjadi ikon tersendiri. Bahkan untuk mendengarkan suara gamelan atau pertunjukan wayangnya, Sunan Kalijaga berkolaborasi dengan wali songo yang lain memberlakukan pembayaran tiket dengan wudhu, dua kalimat syahadat dan mendengar tausiyah wali sebelum menggelar pertunjukan. Pangkat Robinhood Jawa melekat pada dirinya ketika masih bergelut di lingkungan istana, yang ketika itu kedekatannya dengan rakyat kecil berhasil mempengaruhi hatinya akan kesenjangan sosial kehidupan kerajaan dan rakyat jelata . Akhirnya Sunan Kalijaga mencuri harta istana dan membagikan pada rakyat jelata. Setelah ketahuan akhirnya Sunan Kalijaga memutuskan untuk berkelana.

Usaha Rhoma dalam mengangkat seni sebagai sarana dakwah layak diacungi jempol, sayangnya ini tidak diikuti dengan syar’i effect dengan masih menampilkan dancer di belakang penampilan Soneta dan Rhoma, begitu juga dengan keribetan komentar Rhoma yang mencla-mencle soal hubungannya dengan Angel Lelga dan beberapa wanita lain yang pada akhirnya mengurangi respect masyarakat secara drastis untuk menyebutnya Ustadz Musisi. Keinginan Rhoma membawa dangdut menjadi delicious music dengan mudah dibanting oleh Inul Daratista, ketika dengan goyangan ngebornya membuat dangdut dikenal sebagai musik ”jorok”. Apalagi makin bermunculan artis dangdut yang lebih mengandalkan goyangan daripada suara, sebut saja Trio Macan, Dewi Persik, Uut Permatasari, dan masih banyak lagi. Era 1980-1990an dangdut sempat menjadi musik mewah dengan hadirnya Meggy Z, Mansyur S, Elvi Sukaesih, Evi Tamala, Iis Dahlia, dan banyak lagi yang mengandalkan olah vokalnya daripada sekedar goyangan krupuknya. 

Ini tentu berbeda dengan kondisi Sunan Kalijaga yang saat itu semakin menjadi-jadi dan semakin merajalela pengikut Islam di tanah Jawa. Kemampuannya mengombinasi seni dan dakwah membuat namanya masih melekat harum dalam benak masyarakat, bukan hanya masyarakat Islam tetapi juga non-Islam yang menghargainya karena sangat berjasa di bidang seni ukir, seni patung, seni suara bahkan dalam teknik arsitektur yang mengombinasikan unsur kebudayaan yang dapat diterima semua lapisan tanpa menonjolkan ekstrimisme ideologi. 

Eksistensi Marhalah Dakwah menjadi pelajaran berharga bagi Kisah Sang Robinhood dan Sang Raja Dangdut ini. Mampukah kita membawa cerita tentang ”SENI DALAM BERDAKWAH DAN BERDAKWAH DALAM SENI”? Wallahua’lam bishowab. 

Selasa, 18 Januari 2011

Kalian Waktu Itu

Aku rindu kalian...
Rindu pada mata muda dihiasi senyum polos
Aku rindu kalian...
Menghiasi lapar melupakan makna rasa, mengagungkan makna harga
Aku rindu kalian...
Rindu pada kantuk senang penuh selasar sepi


Aku rindu kalian...
Berkicau riang di tanah putih nan keras tak berbatu
Aku rindu kalian...
Bercengkerama mesra dan tak pernah menghitung lembaran harta
Aku rindu kalian...
Yang dahulu tahu makna selembar seribu

Aku rindu kalian...
Mengukir tinta di helaian kertas putih dengan hijaunya sampul
Aku rindu kalian...
Bercerita tentang cinta...cita...gempita...
Aku rindu kalian
Kalian.......bukan kamu

Senin, 17 Januari 2011

Kulewati Malam Pertamaku Bersama Waria (part I)


Perempatan kecil Carrefour (dulu Alfa) sektor IX belok kanan (dari arah kampus STAN), itulah tempat mangkal beberapa waria, mereka beroperasi sejak jam 12 malam setiap hari (kecuali hari khusus, ex:Lebaran). Saat Sabtu malam, lebih banyak lagi ”pengunjung”nya. Jumlah mereka sekitar 10-15 orang, setiap kurang lebih 10 meter mereka berdiri mencoba menawarkan ”jasa”.

Kalau menemui mereka saat jam-jam ”kerja”, hampir dipastikan kita akan dianggap ingin memperoleh ”jasa” mereka. Malam pertama itu contohnya, aku dan temanku mencoba iseng-iseng ingin mengorek sesuatu dari Mbak (Mbak atau Mas ya?) Waria di situ. Alhamdulillah kami mendapat setting yang tepat untuk melakukan investigasi. Sebuah warung dengan tempat duduk yang cukup lebar.

”Beli rokok donk, Mas (Mas...mas... kapan aku nikah sama mbakmu-batinku lirih)”, pinta Sang Waria sebut saja namanya Iin (bukan nama sebenarnya)
”Saya nggak ngerokok, Mbak”. Jawabku antara bingung manggil Mbak atau Mas.

Kita saling ta’aruf sambil ada ”pelecehan” dikit-dikit yang hampirku dapat kalau tidak tangan copetku berhasil mengendalikan situasi. Malah temanku yang duduk bersama Yeni (bukan nama asli), sudah terkena ”pelecehan” itu (tidak perlu diceritakan bentuknya, bisa muntah delapan hari kalau membayangkan). Baju khas Jawa yang melekat di tubuhku cukup membuat Iin mengenal aku Wong Jowo. Cuma paduan kendaraan Yamaha Mio Merah yang membuat casing Jawaku tidak bisa terlihat natural, kalau saat itu memakai sepeda kumbang Sukarno-ku mungkin sudah pasti Iin bakalan misuh-misuh (ngumpat-ngumpat-red), Wong Jowo Gemblung!!!!

10 menit berlalu, kami hanya melewati 10 menit malam pertama itu dengan mengenal keluarga Iin. Iin ini cerdas, dia sadar bahwa aku ngobrol dengannya bukan untuk memperoleh ”jasa”nya, dan ternyata dia adalah Koordinator Kewariaan di lingkungan itu dan sering berkoordinasi dengan pemerintah mengenai penyuluhan-penyuluhan untuk waria. Boleh dibilang dia ini aktivis DPW (Dewan Persatuan Waria) setempat. Iin juga terbilang highclass, dia mengaku omset (susah pakai bahasa lain) tiap bulannya bisa sampai jutaan. Untuk perawatan tubuh saja Iin bisa mengeluarkan sampai Rp 300 ribu per minggu, belum biaya hidup keluarganya. Oya, Iin ini punya anak angkat lho!!! Iin tidak mempunyai penghasilan lain selain dari ”job”nya ini. Seorang pengguna jasanya pernah memberikan sampai Rp 2 juta karena Sang Om ternyata merekam Syaithan Activity mereka dan ketahuan Iin (kena deh...!!!).

Saat Bosan Dengan Kediaman, Saat Diam Dengan Kebosanan



Kadang saya menangis, kadang tertawa, kadang marah, kadang bahagia, kadang berduka, kadang bersuka, tapi semua itu hanya terlihat di dalam sanubari, di dalam hati yang kecil berontak. Dan saat-saat itu kadang tertumpah dalam tumpahan tinta yang bergulir cepat secepat kesedihan mengadili sikap, secepat senyuman meluluhkan kemarahan dan secepat penyesalan menyertai air mata.

Sekarang saya mulai ”berani” menulis untuk dibaca. Dulu saya hanya menulis untuk menentramkan hati, menulis untuk diri sendiri dan menulis untuk mengkhotbahi diri sendiri. Saya takut sebuah penyakit hati karena kadang kita punya tujuan untuk menulis, dan menurut saya orang itu menulis bertujuan :

1. merubah orang lain dengan tulisan kita
2. memberi pengetahuan baru atau lama dengan cara baru
3. dinikmati sendiri
4. menulis untuk dibaca orang lain dan berharap pujian
5. menulis agar dikatakan ahli dalam menulis
6. memberikan propaganda kepada orang ”bodoh”
7. menginginkan pendukung atas pemikiran kita

hanya tujuan nomor 3 yang membuat orang tidak mempublish tulisannya. Ketakutan atas tujuan 4 dan 5 membuat dalam 1,5 tahun terakhir (saat kegemaran menulis saya benar-benar teraplikasikan) tidak banyak tulisan yang saya publish. Tapi dorongan moral dan kadang ”ludahan” beberapa orang dan buku membuat saya ”cukup” berani menelurkan tulisan-tulisan itu. Inilah saatnya untuk saya berbuat sesuatu lewat tulisan, bukan lisan dan perbuatan.

Kalau memang lewat tulisan, dakwah ini lebih menengadah luas, saya ikhlas orang mengecap saya sebagai yang ke-4 atau ke-5. Kalau memang lewat tulisan, dakwah ini mampu berdiri tegak setegak mercusuar di lepas laut, saya ikhlas mendapat ludahan-ludahan lain yang menjijikkan dari penganjing dakwah. Kalau memang lewat tulisan, dakwah ini merongrong setiap buliran darah ke jantung kedengkian manusia, saya ikhlas ikut mati di dalamnya....

Tapi agar diketahui, dalam setiap membaca sebuah tulisan, mari kita lihat background seorang penulis itu, pengetahuannya berasal dari mana, bagaimana aliran hidupnya,  siapa berpengaruh di hidupnya dan bagaimana pandangan-pandangannya terhadap sebuah kejadian dan juga tentu sudut pandang apa yang digunakannya dalam menulis. Setuju atau tidak, tulisan adalah tulisan. Senang atau tidak, latar belakang penulils berpengaruh banyak. Sadar atau tidak, pemahaman penulis akan hal yang dibicarakan memberi sentuhan alami dalam tulisannya. Percaya atau tidak, tulisan itu aplikasi dari TUtup LISAN.



edited from pplngun.multiply.com