Kamis, 01 Desember 2011

Revolusi Tanpa Poligami

Malaise, begitulah istilah lain dari depresi ekonomi yang besar pada tahun 1930-an. Banyak perusahaan yang kolaps dan bangkrut karena saat itu kemampuan beli masyarakat dunia sangat kecil, sementara barang produksi sangat banyak. Tak terkecuali perusahaan Matsushita Electric (cikal bakal Panasonic) milik Konosuke Matshushita. Banyak sekali perusahaan yang kemudian mengurangi jumlah tenaga kerja mereka guna menekan biaya gaji. Tapi Matsushita berbeda, dia tidak mungkin tega memecat karyawannya yang masih punya keluarga dalam kondisi perekonomian seperti itu. Semua karyawan ia anggap sebagai keluarganya sendiri.

Matsushita kemudian berfikir untuk memberdayakan karyawannya yang semula menjadi buruh, diangkat menjadi bagian penjualan. Dia memangkas produksi, meskipun begitu, persediaan barang dagang masih banyak karena lemahnya daya beli masyarakat. Manajer perusahaan meminta Matshushita segera mem-PHK karyawan untuk menekan kerugian ini. Matshushita tak bergeming, akhirnya dia memotong setengah jam kerja, tapi tetap membayar penuh upah karyawannya. Ia juga meminta pekerja untuk membantu menjual jaminan simpanan saham. Akhirnya Matshushita pun berhasil mempertahankan perusahaannya. Kebijakan itulah yang pada akhirnya secara tidak langsung mampu menyelematkannya nyawanya dari penjajahan Sekutu.

Keberhasilan Matshushita tak akan diraih jika dia tidak punya seorang istri dan 3 asisten yang selalu mendampinginya sejak sama-sama membuat perangkat lampu pada tahun 1917. Matshushita hanya lulusan pendidikan menengah dan tak punya pengalaman berbisnis. Sadar akan hal itu, Matshushita butuh usaha keras dan semangat tinggi. Saat itu mereka bekerja berjam-jam dan tak pernah ada libur sebelum menemukan perangkat lampu yang inovatif.

Panasonic tak akan pernah kita tahu jika Matshuhita tak pernah bertemu istri dan tiga asistennya. Begitu juga Steve Jobs tak akan pernah kita kenal jika dia tak bertemu seorang luar biasa seperti Wozniak, yang sama-sama mendirikan perusahaan Apple dari sebuah ruang kerja kecil. Dan Bill Gates tak akan pernah menjadi manusia terkaya di dunia dalam jangka waktu lama bila dia tak pernah kenal Paul Allen. 

Kecakapan seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakannya dan memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup. Begitulah yang disampaikan Tan Malaka dalam bukunya “Aksi Massa” (1926). Kesadaran akan butuhnya kekuatan bersama seperti Tan Malaka juga tercermin dalam kitab suci Kaum Nazi, “Mein Kampf” (1925). Di tulisannya, Adolf Hitler mengungkapkan alasannya memilih menjadi Kepala Divisi Propaganda Partai Buruh di tahun 1921. Hitler yakin bahwa perubahan yang akan dilakukannya hanya dapat dilakukan apabila mempunyai basis massa yang kuat.

Jika kita mempunyai tujuan yang besar dan yakin kita mampu mendapatkannya sendirian, yakinlah bahwa tujuan itu tak akan tercapai maksimal. Tujuan besar dicapai dengan kombinasi yang cantik, dan kombinasi dapat tercapai minimal dengan adanya 2 orang. Jadi, ketika Anda berfikir Anda akan membuat tujuan yang besar dan luar biasa, pastikan Anda punya rekan untuk itu semua. Rekan yang paling tepat dan akan selalu ada bersama Anda, begitu pun Anda akan selalu bersama dia. Ya… Anda boleh memanggilnya “istriku” atau “suamiku”.

Senin, 07 November 2011

2 Jam Lagi

Kurang lebih 2 jam lagi dari terbitnya tulisan ini, Aula DJKN lantai 5 akan menjadi saksi sesenggukan tangis manusia, rintihan pedih hati kegagalan harapan, senyuman pahit jatuhnya asa, ataupun tawa riang di lubuk hati terdalam serasa meraih kemenangan hakiki. Ya, ratusan CPNS DJKN 2010 akan membuka lembaran baru dalam kehidupannya. Hari ini 8 November 2011. Entah kebetulan atau tidak, tepat sekali 11 bulan yang lalu bertanggal 8 Desember 2010, peristiwa itu sudah pernah saya lalui. PENEMPATAN, begitulah kami menyebut tragedi itu.

Sebelum hari bersejarah bagi 55 orang CPNS DJKN 2009 itu, saya mencoba memberikan bahan-bahan pertimbangan pada decision maker tempat kami berlabuh. 2 kali polling permintaan ataupun keinginan kami, dialog face to face dengan salah satu yang berpengaruh terhadap keputusan akhir, memberikan database yang tepat dan akurat, sampai alasan-alasan yang normal maupun abnormal sudah diungkapkan ke bagian yang mengurus nasib kami. IP, asal kota, spesialisasi, hasil kinerja saat magang, usia, jenis kelamin, dan masih banyak lagi lainnya sudah tertulis lengkap di CV maupun database kami pun menjadi sogokan pertimbangan. Saya terus berharap bahwa permintaan adalah awal pertimbangan dan selanjutnya diversuskan dengan kinerja dan kemudian yang lain. Yang pada akhirnya saya sadar, semua itu bisa tak berguna hanya dengan 1 kata pemegang hak veto, “Ganti”.

Tentu saja di sini saya tidak akan mempermasalahkan bagaimana seorang yang berasal dari Medan ditempatkan di Jayapura, ataupun menyoalkan bagaimana seorang ber-IP cumlaude nan berwajah ganteng (siapa tahu ini jadi pertimbangan penempatan...hehe) yang berkinerja baik saat magang dan tak pernah tersentuh pelanggaran disiplin kecil sekalipun bisa ditempatkan di tempat yang jauh dari keinginannya. Saya juga tidak akan mempertanyakan bagaimana orang yang meminta tempat yang tak diinginkan 90% orang, malah ditempatkan di tempat yang diinginkan 90% orang. Saya juga akan melupakan bagaimana seorang yang ber-IP kecil ditempatkan di tempat dia tak pernah magang dan diinginkan banyak orang. Dan saya pun tak akan mengirikan seorang yang jelas-jelas tertulis ditempatkan di sebuah kota, tapi sampai detik ini tak pernah berada di kota itu. Tapi saya bukan pelupa . Saya masih ingat janji, terutama janji mengenai kata “PERBAIKAN”.

Kalau mungkin nanti Menteri, Dirjen, Direktur, atau pejabat kepegawaian mengatakan, “Kami akan melakukan perbaikan sistim kepegawaian”, “Di mana saja itu sama, tergantung kita”, “Di daerah, kalian akan lebih banyak belajar soal-soal teknis”, “Ini bukanlah akhir segalanya, tapi hanya merupakan awal”, saya pasti akan tertawa sekencang-kencangnya sampai pingsan saking mualnya. Seandainya itu tidak melanggar norma kesopanan, seandainya itu tidak melanggar etika profesi, dan seandainya orang tua saya memperbolehkan saya tidak menghargai orang lain, seandainya agama saya mengijinkan untuk saya menghina seseorang dengan cara yang buruk, saya akan melakukannya.

“Hope for the best, prepare for the worst” dan “dimanapun kita ditempatkan, anggaplah kita akan berada di situ selama-lamanya” akan sering kita dengar menjelang saat-saat seperti itu. Kita bekerja di lingkungan yang seharusnya membuat semua pegawai merasa nyaman dan puas. Ketidakpuasan akan membawa pada ketidaklurusan. Karena yang membayar literan keringat kita adalah bergalon-galon keringat rakyat yang mau menyerahkan sebagian kecil hasil kerja kerasnya (atau mungkin sebagian besar.hehe). Kalau CPNS DJKN 2010 berharap semua harapan sesuai kenyataan, tolong lupakanlah mimpi itu,bangunlah pagi, dan lihatlah sinar matahari. Malam memang terasa gelap, tapi ingatlah, esok matahari akan bersinar kembali. Karena tempat Anda menggantungkan mimpi tak pernah peduli arti mimpi Anda.

Akhirnya saya sepertinya harus sok bijak dan sok berpesan kepada para galauers ini. Kalau Anda berfikir saat ini keadilan masih berlaku dalam penempatan, lebih baik “bunuh”lah saya sekarang juga. Kalau Anda kemudian menyerah pada langkah pertama Anda, lebih baik mundur dari sekarang. Kalau Anda berhasil ditempatkan sesuai keinginan Anda, yakinlah bahwa tak semua yang Anda rasakan sekarang akan Anda rasakan seterusnya. Kalau Anda tak puas dengan hasil yang ada di atas kertas, berusahalah untuk menjadi montir kerajaan, karena Anda sedang berada dalam kerajaan tanpa montir. Yang terakhir, kalau ada yang ke Papua dan boleh untuk ditukar dengan tempat saya sekarang berdiri, saya siap setiap saat!!



Kamis, 03 November 2011

The Journey of Love

The Way of Love

Tendangan Berarah Langit

Little Ampera

Amperapung

Perahu Keras

From Watervang with Love



Minggu, 30 Oktober 2011

Will You Marry Me?

Gerimis...maukah kau berhenti bergemericik tuk bantuku?
Ulirkan tetesan kerinduan di hatinya yang terdalam
Nafikan kesedihan di matanya yang bermuram
Agar seluruh batinku sejenak diam...kemudian lirih berujar
Will You Marry Me?
And take into your heart
Now and forever...

Kupu-kupu...maukah kau berhenti menari tuk usirku?
Usirku dari rasa ragu bahwa dialah rusukku
Rusuk yang buatku tegar tak terkapar
Namun kuingin kau menari lagi, kupu-kupuku...
Isyaratkan tarian harapan tuk membawanya ke jantungku
Alirkan racun bahagia tuk luluhkannya ke asmaraku

Sang Penakluk amarahku...
Asaku terjaga sedalam keyakinan ikrar jiwa
Takkan kubiarkan pundakku terbuai selain lembutmu
Ruang fikirku slalu bermandikan nafas kasihmu
Ingin kuteriakkan..
Aku memang bukan lelaki termegah...tapi kupunya warna
Dan akupun bukan manusia terindah...tapi kupunya asa
Istriku...hanya itu yang ingin kupanggil mengganti namamu


inspired by Inesz

Rabu, 19 Oktober 2011

Kerajaan Sugih Nagari (1) : Raja bukanlah Rajaku

Di gugusan pulau di belahan dunia selatan, lahirlah sebuah kerajaan baru bernama Kerajaan Sugih Nagari. Dengan jutaan rakyat, Sugih Nagari punya lebih dari 3.000 pengabdi kerajaan. Dulu memang kerajaan ini tak bernama Sugih Nagari, tapi atas kehendak penguasan Langit Hijau Dewi Myan Lui, kerajaan ini didirikan dan ditunjuklah seorang raja bernama Raja Yonta. Kenyataan bahwa Raja Yonta pernah digodog di sebuah tempat mencari ilmu dunia yang tersohor di dunia bernama Darvhar, Planet Amey Rica.

Kerajaan Sugih Nagari memiliki daerah kekuasaan hingga 10.000 pulau. Istana Raja sendiri berada di Pulau Zawa. Luasnya kekuasaan Sugih Nagari bisa terlihat dari lama perjalanan dari pulau terbarat sampai paling timur yang memakan perjalanan lebih dari 7 hari menggunakan kapal laut, atau bisa ditempuh 8 jam menggunakan Durga (sebuah besi yang mampu terbang dengan kecepatan tinggi). Seperti Planet Amey Rica, Raja Yonta membagi kerajaannya menjadi 17 kerajaan kecil yang disebut Nagari.

Di Istana Raja, 10 Patih siap membantu Raja Yonta melayani rakyat. Dan apabila sewaktu-waktu Raja Yonta dipanggil Dewi Myan Lui, 10 patih ini berperan besar untuk menyiapkan segala sesuatunya.

Meskipun sudah lebih dari 60 purnama, tapi banyak abdi kerajaan yang mengeluhkan kepemimpinan Raja Yonta. Raja Yonta pernah marah besar, hanya karena teman berburunya, yang merupakan abdi kerajaan, dipindahkan ke luar Pulau Zawa untuk membantu Nagari. Padahal abdi kerajaan di Sugih Nagari memang harus selalu berotasi tak hanya Pulau Zawa demi sebuah keadilan dan kesehatan sistim Sumber Daya Manusia.

Raja Yonta memang sangat menyukai berburu, maka dua minggu sekali Raja Yonta selalu menyempatkan berburu di pagi hari. Tapi ada yang mengganjal dengan kesukaannya itu. Ketika berburu, Raja Yonta tak pernah mau kalah. Salah satu abdi kerajaan yang punya kemampuan berburu di atas rata-rata diwajibkan kalah kalau melawan Raja Yonta. Karena Raja Yonta punya kekuasaan semacam hak veto untuk memindahkan abdi kerajaan ke pulau-pulau terpencil, para abdi kerajaan pun terpaksa harus mengikuti kemauan Raja, “harus kalah ketika lomba berburu dengan Raja”.

Pernah juga suatu ketika Raja Yonta dan permaisuri sedang menunggang kereta emasnya, tiba-tiba ada kuda yang menyalip kereta emasnya dalam posisi hampir nyrempet. Sang Permaisuri tiba-tiba berkata, “Suamiku, andaikan itu abdi kerajaan Sugih Nagari, pecat saja dia, mengganggu jalan kita saja!”. Sang Raja pun hanya tersenyum dan mengangguk-angguk setuju.

Raja Yonta tak tinggal di istana, dia tinggal di perkampungan Sang Permaisuri. Setiap pagi, Raja berangkat sebelum matahari benar-benar terbit sehingga bisa sampai di Istana saat abdi negara juga sudah berada di Istana. Dari perkampungan Sang Permaisuri ke Istana, Raja Yonta harus melewati jalan yang diharuskan membayar sekeping perak setiap kali lewat, yang digunakan membangun jalan yang lebih luas untuk rakyat. Tapi bukan namanya Raja Yonta kalau tak menonjolkan kedudukannya. Raja Yonta tak pernah mau membayar, dan malah meminta kebebasan untuk melewati jalan tersebut, karena dia adalah Raja.

Kecerdasan Raja dalam mengatasi masalah perselisihan antar kerajaan dan memberikan petunjuk untuk kebaikan Langit Hijau memang diakui Dewi Myan Lui sangat luar biasa. Tapi kalau tidak merubah perangainya, Raja Yonta tak akan dicintai abdi kerajaan maupun rakyat biasa. Abdi kerajaan dan rakyat membutuhkan raja yang sederhana tapi cerdas, bukan yang ekslusif dan bermental feodal. Sudah banyak yang mengeluhkan hal ini, baik abdi kerajaan maupun rakyat sendiri. Tapi kekuasaan Raja Yonta yang secara semu adalah tak terbatas, membuat para abdi kerajaan hanya bisa nrimo sambil berdo’a, semoga Dewi Myan Lui cepat mengganti Raja Yonta, atau Raja Yonta sakit-sakitan dan tak bisa melanjutkan memimpin kerajaan, atau yang paling ekstrim, semoga Raja Yonta segera dipertemukan dengan penciptaNya agar segera diingatkan akan sikap-sikapnya.

Minggu, 02 Oktober 2011

Art of LEKRA

Jangan!


Lukisan Bergitar

Bukit Tak Bertuan

Mati Kau Tirani!


Ketika Kanvas dan Pahat Bersatu


Patriotisme vs Imperialisme -HT-

Menjual Bayangan

Kamis, 07 April 2011

Dua Detik Lagi

Galau mata, gemas hati, gelisah telinga tersekat besi
Usia ubanku hanya berbatas ufuk matahari
Nista negeri dipanggulkan tepat di pundakku
Anjing berpeluh angin makam dilepaskan untukku
Walau kutahu aku hanya sampah gravitasi hukum
Aku tetap santun dan berkaca menyambut gelapku
Nafasku tak terengal seolah tepat peluru di jantungku

Kakiku beku...
Ubanku menipu...
Rajutan jubah putih tersenyum menyambut gelepar
Nyanyian air mata hanya sekejap menatap
Ia kemudian mati...tapi masih berhati
Ambang hidupku... hidupmu.. hidup kita

Sudahlah mawar biruku...
Api kebenaran tlah tersiram air kemunafikan
Tinta mahal tiket surga terhapus darah fana
Risauku untuk negeriku
Ikatku untuk setan negeriku
Ahhhhh...
Dua detik lagi...
Inginku bertemu surga...












Puisi tentang seorang pria yang akan dihukum mati. Di depan istri dan seorang ulama dia masih bisa tersenyum, tapi istrinya pingsan tak kuasa melihat suaminya ditembak mati. Pria ini adalah pejuang HAM dan dia dihukum mati karena diduga membocorkan rahasia negara padahal dia tak pernah melakukannya.
 –Inspired by Green, green Grass of Home (lagu Tom Jones tahun 1966)-

Senin, 31 Januari 2011

Genk Cinta, Cinta Genk -- Scene 2



Genk “Hitam”, kami sempat menyebut nama genk itu sekali. Selanjutnya, kami sering menyebut genk kami dengan sebutan “kene” (dalam bahasa Jawa artinya ‘kita’). Personelnya secara lengkap sulit untuk kami definisikan, tapi yang merupakan anggota yang selalu ada adalah 4 orang, yang lain boleh dikatakan sebagai kumpulan kami tapi masih timbul tenggelam. 2 tahun kami sekelas, bahkan Fahmi, saya dan Handoko adalah absen berurutan. Personil satunya lagi adalah Kukuh.

Sejak masuk SMA kelas 1, hari pertama MOS, Fahmi dan Handoko sudah dicap “biang kerok” oleh kakak kelas pendamping kelas kami, kelas 1-6. Saya dan Kukuh masih terlihat polos, bahkan saat itu saya dipilih dengan cara voting untuk jadi ketua kelas dan Kukuh jadi sekretarisnya. Waktu berjalan dan keanehan terus bermunculan. Tiga bulan pertama, Fahmi sudah ditonjok kelas 3 tanpa alasan jelas, Handoko sudah dicap “penjahat” karena memalak dan menantang orang adalah makanan sehari-harinya, Kukuh membawa anak SMA lain masuk ke sekolah, dan saya, cukuplah bermasalah dengan satu kelas anak kelas 2. Selanjutnya sudah menjadi hal yang wajar kalau kami bermasalah, dari akan membunuh orang, skorsing tidak boleh ikut matematika selama 1 bulan, menenggak minuman, menempel semua dinding belakang kelas dengan Koran, main kartu di belakang saat guru mengajar, hingga cabut sekolah setelah jam pelajaran ke 3, menjadi agenda buruk personil maupun kelompok.

Sekarang semua tinggallah cerita lalu yang lucu. Sosok Handoko, seorang katolik taat yang juga seorang yatim, sekarang lebih dewasa (bukan karena dia kelahiran 1984 lho). Sebagai pegawai Djarum, Handoko yang terbiasa hidup keras, mampu bertahan dan menjadi pegawai yang rajin dan toleran. Usaha sampingan banyak dijalaninya untuk menghidupi keluarganya. Minuman keras ditinggalkannya, memalak dilupakannya dan perkelahian adalah kekanak-kanakan baginya. Masih banyak sisa kegilaannya, tapi Handoko sekarang adalah orang yang mengerti arti hidup karena diajari oleh hidup.
Fahmi sekarang telah menjadi pegawai anak perusahaan Pertamina di Cepu yang gajinya melebihi lulusan D3 STAN yang masih “hijau”. Fahmi adalah lulusan D3 Teknik Kimia Undip, ayahnya sudah meninggal dan punya tubuh gempal. Fahmi adalah teman prinsip saya saat teman yang lain mau melakukan hal yang nyata haram, Fahmi dan Saya selalu memohon maaf kepada teman yang lain untuk “hanya” menemani, sebagai solidaritas kami.

Kukuh, keponakan seorang Wakapolda, sejak SMA sudah menggemborkan masuk Akademi Kepolisian, karena memang tubuhnya yang tinggi (184 cm), jadi saat SMA hanya menjadi tempat mainan untuknya. Ternyata tahun pertama gagal dan dia dijanjikan tahun kedua pasti masuk Akpol. Tapi ternyata tahun kedua gagal juga, padahal kuliahnya di D3 Teknik Mesin Undip sudah diabaikannya dengan meninggalkan IP Nasakom (Nilai Satu Koma). Kekasihnya kemudian meninggalkannya, dan setahun yang lalu dia menjadi Supir serabutan maupun kenek Truk. Secara ekonomi, Kukuh adalah yang paling berada di antara kami, tapi dia mencoba melakukan yang dia bisa agar tidak menganggur di rumah. Motivasinya kemudian meningkat setelah tahu bagaimana susahnya mencari uang. Kukuh kini sedang menjalani pendidikan kedokteran di semester 2. “Tak ada kata terlambat untuk memulai”, itulah kata terakhir yang sempat dia ucapkan sebelum kemarin terakhir kami bertemu mengenang masa lalu “Genk Hitam”.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada personil genk ini bagi saya sangat mencengangkan. Entah motivasi apa yang ada, tetapi semua orang yang saat SMA pernah mengenal kami dan selalu berkata “Mau jadi apa kalian nanti kalau begitu terus?”, sekarang tercengang dan berkata “Hidup adalah Roda”.

Tak selamanya keburukan berakhir dengan keburukan, karena keburukan hanyalah konstanta, dan kebaikan adalah hasilnya, tergantung seberapa besar variabel yang mempengaruhi hasil mampu lebih tinggi dari konstanta.

Rabu, 26 Januari 2011

Genk Cinta, Cinta Genk --- Scene 1

Yesterday is History, Tomorrow is Mistery (kata ini pertama kali saya baca di buku pembukaan profil Angkatan Laut Republik Indonesia tahun 2005). Ya, seberapapun jeleknya seseorang, kesempatan untuk berubah selalu ada dan berada di sampingnya mengikuti kejelekannya.



Waktu SMA, saya bergabung secara alamiah dengan 4 genk (yang saya ingat). Genk 1 adalah Genk Hura-hura, anggotanya adalah orang-orang yang punya visi petualang, ada 9 orang anggota tetap, 5 putra, 4 putri. Genk ini khusus mendedikasikan waktunya untuk jalan-jalan dan liburan ke tempat berbeda tiap ada kesempatan. Sampai sekarang pun setiap tahun masiih menjalankan ritual pasca lebaran, mengunjungi tempat yang berbeda-beda di kota yang berbeda. pernah ke Purwodadi naik mobil VW Combi, mantap. Tapi yang paling menyebalkan dari perjalanan yang pernah kami lakukan adalah ketika mencari ikan bakar di Pantai Kartini Jepara ternyata sampai berjam-jam tidak ketemu yang pas, akhirnya kami pulang ke Kudus dan makan di Pasar Kliwon, yang jarak tempuhnya cuma 50 detik jalan kaki dari rumah saya...

Genk 2 adalah Genk OSIS, orang-orang menyebutnya seperti itu. 16 orang pengurus inti OSIS berkumpul hampir setiap hari selama 1 tahun, dan “feel” itu masih terbawa sampai sekarang dan bahkan kami sempat punya permainan “mengejar matasapi”, kami yang cowok bersembilan orang lomba lari memutari letter U lantai 2 SMA kami dengan suasana kompetisi yang hangat. Majemuknya tipe 9 putra didampingi 7 putri ini membuat saya lebih tahu arti perbedaan dan melatih musyawarah mufakat, karena keputusan yang kita ambil tidak pernah berasal dari voting. Teman-teman saya sering menyebut saya "pembangkang" karena hampir selalu berbeda pendapat dengan pembina OSIS yang menurut saya (menurut teman-teman juga begitu) kontroversial. Mungkin bedanya, teman saya mampu menyimpan hingga terus ditahan, kalau saya, saya serang langsung.

Genk 3 adalah genk Pramuka, Jodhipati-Candrasari tepatnya. Saat saya SMA, pramuka bukan ekstrakurikuler  wajib. Meskipun ambalan kami selalu ditawari pihak sekolah untuk menjadi ekstrakurikuler wajib, tapi kami menolak. Kami lebih senang punya 10 ekor singa daripada 1000 ekor kambing. Kekuatan kekeluargaan kami (alumni, dewan ambalan, maupun anggotanya) sangat kuat. Ada salah satu dari 19 prinsip yang kami pegang yaitu “Kita berambalan untuk bersatu, bersaudara, dan berkarya”. Di sini pramuka adalah “STPDN mini”, kami dilatih fisik dan mental dengan cara-cara yang boleh dibilang ekstrim dan radikal. Tapi itu semua membuat kami menjadi lebih “ganas”. Kegiatan ambalan kami dipisah antara Jodhi (putra) dan Candra (putri) meskipun beberapa hal  disatukan. Kami diposisikan Candra adalah adik Jodhi, yang membuat Jodhi harus mengawal pulang Candra kalau sampai lebih dari jam 7 malem. 16 Jodhipati dan 13 Candrasari, itulah skuad kami.

Genk keempat mungkin bisa dibilang bener2 genk dalam arti sempit. Kata “genk” sering diartikan negatif oleh banyak orang, terkesan serem, suka hura-hura, suka cari masalah, berantem, kumpul-kumpul nggak jelas atau yang lain yang lebih parah. Genk “Hitam”, dulu kami menyebutnya begitu, tapi hanya kami yang tahu nama itu, setelah itu, tak ada nama untuk genk ini. Kami lebih sering menyebut dengan “kene” (bahasa jawa: artinya “kita”). Sempat tempur dengan tingkat 3 saat kami tingkat 1, ini membuat nama kami ‘ditakuti’. Kelas 2 lagi-lagi tempur dengan tingkat 3, dan ketika tingkat 3 kami berprinsip “jangan ganggu macan yang sedang tidur”, selama mereka tidak membangunkan kami, kami tak akan menggigit. Saya masih ingat benar ketika tingkat 2 kami hampir menghilangkan nyawa orang hanya karena sebab yang lucu, olahraga. Penyebab utamanya bukan karena olahraganya, tapi karena pihak “lawan” mencoba mengeroyok salah satu anggota kami. Pemikiran pendek dan instan, menggunakan kekuatan fisik untuk meraih tujuan, mengedepankan teman di atas yang lain, menghormati yang berbeda agama, hilangnya rasa takut saat bermaksiat, dan banyak hal lain yang menjadikan saya juga belajar sangat banyak dari sini. Sekarang, justru genk inilah yang sangat luar biasa. Luar biasa…luar biasa…luar biasa…. (akan diceritakan khusus)

Kamis, 20 Januari 2011

Anjing Kencing di Kepala Majikan

Tanggal 18 Agustus 1996 di sebuah koran harian terbit sebuah berita yang saat bulan pertama terasa “biasa saja”. Artikel trilogi Dark Alliance yang bercerita tentang obat bius dalam dunia kulit hitam Amerika Serikat muncul dalam dua edisi, internet dan edisi cetak secara bersamaan. Dan itu menjadi koran pertama yang muncul di dua sarana media yang berbeda. Gary Webb, Sang Penulis yang berprofesi sebagai reporter investigatif menjadi sangat tenar setelah 1,3 juta pengunjung dalam mediaWorld Wide Web (www)-nya terus menyapanya di e-mail. Kejutan dari artikel ini adalah terlibatnya orang-orang dalam CIA dan mafia Nikaragua dalam pengedaran obat bius di kawasan kumuh maupun elit orang kulit hitam. Ya, konspirasi akan selalu berujung kontroversi. 


Kontan berita itu menggegerkan dunia, demonstrasi kulit hitam terjadi dimana-mana, jurnalis-jurnalis ternama menganalisis sisi investigasi dan subyektivitas artikel ini, tetapi Gary tetap berpegang teguh bahwa ada Mesin Mighty Wurlitzer (penyimpangan informasi oleh agen intelejen dan manipulasi sistemik dan rahasia dalam info eksternal). Kurang lebih mirip kasus “Gurita Cikeas” tapi kali ini bersifat internasional dan masalah utamanya adalah kelebihan dunia maya dalam media informasi.


Kejutan-kejutan dalam media seperti itu adalah biasa dan sejak dulu telah terjadi. Gary memang seorang independen, tanpa harus ditedengalang-alangi sebuah kepentingan yang membelenggunya. Tapi apabila sebuah media “wajib” ditunggangi kepentingan, itulah yang menjadi masalah pertarungan idealisme jurnalistik dan loyalitas. TVRI dan RRI tentu akan “kesulitan” berdiri tegak jika ada faktor kepentingan. Sebagai media milik pemerintah, pemberitaan dan kebutuhan tentu dikendalikan. Rupanya keinginan Tantowi Yahya untuk mengangkat TVRI dan RRI sebagai “publik yang privat” sulit terwujud. Dengan embel-embel “pemerintah”, TVRI dan RRI tak mungkin bersikap abu-abu. Tak mungkin mobil jalan tanpa bensin meskipun punya sopir.

Saat sebuah media yang wajib diboncengi kemudian meninggalkan Sang Pembonceng sendirian, maka Sang Media wajib melepaskan dirinya dari ketergantungannya dengan Sang Pembonceng dan bersikap independen. Kita tentu masih ingat tentang kisah sebuah kapal besar yang membagi menjadi 3 kelas dalam perjalanan panjang. Kelas Eksekutif, Medium dan Ekonomi. Eksekutif di tempat paling atas dengan kemewahannya dan serba lengkap, medium di bawahnya, dan ekonomi di paling bawah dengan keterbatasannya. Di tengah perjalanan, kelas ekonomi mengalami kehabisan persedian air bersih. Akhirnya dibuatlah lubang kecil di kapal untuk mengambil air dari laut, kelas eksekutif yang tahu berita itu tak peduli dan berpikir “ah..tidak apa-apa cuma lubang kecil”. Tapi karena kelas ekonomi penumpangnya banyak, maka tak cukup satu lubang. Akhirnya tiap orang mencoba membuat lubang sendiri dan kapal akhirnya tenggelam. Sebuah gejolak kecil di tingkatan terbawah ditambah dengan tindakan tingkatan atas tidak peduli akan membawa kekaraman yang menyeramkan.
       Pertarungan idealisme jurnalis dan loyalitas itu harus dihilangkan dengan sebuah ketetapan hati akan sebuah pilihan. Kalau memang harus abu-abu, beritakanlah kepada pembaca untuk “Percaya boleh, Gak Percaya Monggo” dan bersiaplah menjadi anjing kencing di kepala majikan. Jadi sekarang kita tinggal berpikir, apakah SBY benar-benar menjadi Angel of Communication Political Skill  sehingga banyak media luar negeri yang memberi penghargaan sedangkan media di Indonesia tak ada yang memberi SBY penghargaan, apakah Sri Mulyani benar menjadi “The Best Minister of Finance” se-Asia karena kinerjanya. Dan kisah bunuh dirinya Kurt Cobain karena benci ketenaran adalah sebuah realita atau sandiwara Courtney Love-istrinya. Satu yang harus kita jaga “Jangan mudah termakan media”

Aku Wanita Bukan Susila

Gaunku tak selalu melekat megah sempurna
Usiaku tak melulu berhias mewah cinta sesungguhnya
Namun entah mengapa setapak mega menculik pandangan mata jiwaku
Aku....
Wanita....
Aku....
Nyata untukmu....                 




Kawah-kawah panas terus menggelayuti padasan rumah kami                
Untaian nadi dan tulang lapar menggunung dalam bukit surau kami                
Riakku kutelan sendiri                
Nanahku kubasuh tertepi                
Ikrar sejenak itu telah ternodai dalam keheningan                
Andaikan mata ini tak mampu terang, aku menyesal...



Seketika air tenang jiwa meleleh dalam kelembutan kulit manisku
Aku menyapa cantikku dan gagahku, merekaku, termenung....
Termenung sejenak kemudian menelaah mataku dan membisu
Rasaku menyakiti aku, dia dan engkau kemudian....
Ingin ku kembali pulang dalam gerombolan mawar tak bertuan
Asap kelebat cepat menghujam setiap hembusan kenodaan 
Dan inginku segera mengakhiri semua
Ingin.....

(Terinspirasi dari kisah nyata seorang ibu yang punya dua anak dan ditinggal suaminya entah kemana. Sang Ibu kemudian mencari kerja dan bekerja di diskotek. Kedua anaknya dititipkan di panti asuhan. Ketika Sang Ibu pulang, dia malah dicaci masyarakat sekitar dan ditangkap polisi karena dianggap menelantarkan anak)

Rabu, 19 Januari 2011

Bisakah Kamu Menjadi Istri Sukarno?

Ditakuti lawan, disegani kawan, dipuja rakyat dan disanjung dunia. Ya, seorang Sukarno, yang lahirnya bernama “Soekarno” adalah sosok yang sangat kita hafal. Peci hitam, kacamata elegan, berdiri tegap menggunakan baju kebesarannya, menatap tajam dan gemulai setiap hentakan mata yang melihatnya. Dia adalah salah satu generasi emas bangsa Indonesia, ya…generasi emas.

Di balik Sukarno adalah dua orang luar biasa pula yang selalu mendukung hidupnya dengan pendidikan yang tegas dan lembut, sosok bapak dan ibunya. Bapaknya seorang bangsawan keraton dan ibunya seorang yang berkasta tinggi di Bali. Bercampurnya darah kebangsawanan dalam diri Sukarno tak pelak membuat kewibawaannya mampu mencengangkan dunia. Megawati kemudian mengalir mengikuti Bapaknya, begitu pula “Sang Maestro” Guruh Sukarno Putra, yang mewarisi jiwa seni dan kemampuan menggoyah Sang Hawa.

Sukarno membangun dan dibangun generasi. Tapi tahukah Anda, Sukarno pernah gagal membangun sebuah generasi demi sebuah “keegoisan” jiwa membaranya. Pernikahan pertama Sukarno adalah bukti kegagalannya dalam membangun atau membentuk karakter seseorang demi mengimbangi dirinya. Sukarno “terpaksa” menikahi putri dari HOS Cokroaminoto, setelah istri dari HOS meninggal dan HOS terlihat sangat terpukul. Satu-satunya jalan menyelematkan kekalutan HOS adalah dengan menikahi putri dari HOS, Sukarno menjalaninya.

Seiring berjalannya waktu, Sukarno yang menikahi putri HOS yang saat itu masih belia, benar-benar bukan menjadi istri yang seutuhnya bagi Sukarno. Di bukunya, Sukarno menyatakan bahwa istrinya itu masih terlalu muda, tidak bisa mengimbangi cara pikir Sukarno yang menurutnya sangat cepat dan maju. Sukarno merasa berjuang sendirian tanpa dukungan istrinya. Ya, Sukarno mengeluh…..dan akhirnya diakhirilah semuanya tanpa Sukarno pernah menyentuh istrinya.

Ketika orang tua kita “bukan apa-apa” menurut orang lain –karena pastinya mereka adalah orang luar biasa bagi kita-, yakinlah bahwa kita lah yang akan membawa kebanggaan kedua orang tua kita bahwa anaknya adalah seorang yang mampu melahirkan generasi emas karena telah dilahirkan oleh generasi yang lebih emas. Bukan tentang
“siapa orang tua kita” tapi tentang “siapa anak kita”. Ketika kita dipaksa memilih sebuah pilihan visioner dalam hidup dan kita merasa tidak dapat mengimbangi apa yang kita inginkan, maka kita harus menjadi lebih luar biasa lagi dari seorang yang dilahirkan generasi emas. KITA HARUS MELAHIRKAN GENERASI EMAS

Yakinlah…kadang-kadang mencintai seorang yang kamu cintai adalah dengan cara mencintai orang yang tidak kamu cintai… 

Dakwah Dalam Seni : Kisah Raja Dangdut dan Robinhood Jawa

Dua-duanya sama-sama Raden, yang satu Raden Haji Oma Irama (Rhoma Irama) bergelar Raja Dangdut, dan yang satu Raden Said (Sunan Kalijaga) bergelar Robinhood Jawa (gelar dari penulis). Raden berasal dari kata Roaddin yang artinya lihat agama, atau pengetahuan agama. Konsekuensinya tentu sang pemilik gelar harus benar-benar “melek” agama. 





Rhoma Irama mulai mendapat gelar Raja Dangdut (sesuai judul filmnya tahun 1977) setelah berhasil mengeruk musik yang saat itu disebut musik kampungan menjadi sebuah genre musik baru yang mampu berkolaborasi antara rock dan melayu. Setelah pulang dari haji tahun 1975 tak pelak nama Rhoma Irama terus melambung seiring dedikasinya pada musik dangdut dan membawa jutaan orang tergila-gila dengan musik dangdut dan hasilnya setiap konsernya tak kurang dari 50.000an orang hadir. Kecenderungan syairnya yang syiar mengenduskan nafas Islam dalam lirik-liriknya seperti pada lagu Modern “tak sembahyang bukan modern, tapi suatu keingkaran/urakan bukanlah modern, bahkan nyaris seperti hewan“. Atau pada lagu Emansipasi Wanita, “majulah wanita, giatlah bekerja, namun jangan lupa, tugasmu utama/apa pun dirimu, namun kau adalah ibu rumah tangga..“. Kemampuannya mengolah seni menjadi penyampaian syiar mengundang decak kagum banyak orang, bahkan Rhoma Irama pernah menyampaikan pandangannya tentang terorisme yang dipresentasikan dalam seminar dan dibukukan oleh salah satu Universitas di Amerika. Media Amerika menjuluki Rhoma sebagai Michael Jackson-nya Indonesia.

Raden Said atau Sunan Kalijaga tak kalah keren dalam mengangkat seni untuk berdakwah. Wayang dengan lakon Jimat kalimasada, Petruk Jadi Raja atau Dewa Ruci memberikan sentuhan Islam yang menarik bagi kalangan marjinal di Pulau Jawa dan membuat wayang (beserta gamelannya) menjadi ikon tersendiri. Bahkan untuk mendengarkan suara gamelan atau pertunjukan wayangnya, Sunan Kalijaga berkolaborasi dengan wali songo yang lain memberlakukan pembayaran tiket dengan wudhu, dua kalimat syahadat dan mendengar tausiyah wali sebelum menggelar pertunjukan. Pangkat Robinhood Jawa melekat pada dirinya ketika masih bergelut di lingkungan istana, yang ketika itu kedekatannya dengan rakyat kecil berhasil mempengaruhi hatinya akan kesenjangan sosial kehidupan kerajaan dan rakyat jelata . Akhirnya Sunan Kalijaga mencuri harta istana dan membagikan pada rakyat jelata. Setelah ketahuan akhirnya Sunan Kalijaga memutuskan untuk berkelana.

Usaha Rhoma dalam mengangkat seni sebagai sarana dakwah layak diacungi jempol, sayangnya ini tidak diikuti dengan syar’i effect dengan masih menampilkan dancer di belakang penampilan Soneta dan Rhoma, begitu juga dengan keribetan komentar Rhoma yang mencla-mencle soal hubungannya dengan Angel Lelga dan beberapa wanita lain yang pada akhirnya mengurangi respect masyarakat secara drastis untuk menyebutnya Ustadz Musisi. Keinginan Rhoma membawa dangdut menjadi delicious music dengan mudah dibanting oleh Inul Daratista, ketika dengan goyangan ngebornya membuat dangdut dikenal sebagai musik ”jorok”. Apalagi makin bermunculan artis dangdut yang lebih mengandalkan goyangan daripada suara, sebut saja Trio Macan, Dewi Persik, Uut Permatasari, dan masih banyak lagi. Era 1980-1990an dangdut sempat menjadi musik mewah dengan hadirnya Meggy Z, Mansyur S, Elvi Sukaesih, Evi Tamala, Iis Dahlia, dan banyak lagi yang mengandalkan olah vokalnya daripada sekedar goyangan krupuknya. 

Ini tentu berbeda dengan kondisi Sunan Kalijaga yang saat itu semakin menjadi-jadi dan semakin merajalela pengikut Islam di tanah Jawa. Kemampuannya mengombinasi seni dan dakwah membuat namanya masih melekat harum dalam benak masyarakat, bukan hanya masyarakat Islam tetapi juga non-Islam yang menghargainya karena sangat berjasa di bidang seni ukir, seni patung, seni suara bahkan dalam teknik arsitektur yang mengombinasikan unsur kebudayaan yang dapat diterima semua lapisan tanpa menonjolkan ekstrimisme ideologi. 

Eksistensi Marhalah Dakwah menjadi pelajaran berharga bagi Kisah Sang Robinhood dan Sang Raja Dangdut ini. Mampukah kita membawa cerita tentang ”SENI DALAM BERDAKWAH DAN BERDAKWAH DALAM SENI”? Wallahua’lam bishowab. 

Selasa, 18 Januari 2011

Kalian Waktu Itu

Aku rindu kalian...
Rindu pada mata muda dihiasi senyum polos
Aku rindu kalian...
Menghiasi lapar melupakan makna rasa, mengagungkan makna harga
Aku rindu kalian...
Rindu pada kantuk senang penuh selasar sepi


Aku rindu kalian...
Berkicau riang di tanah putih nan keras tak berbatu
Aku rindu kalian...
Bercengkerama mesra dan tak pernah menghitung lembaran harta
Aku rindu kalian...
Yang dahulu tahu makna selembar seribu

Aku rindu kalian...
Mengukir tinta di helaian kertas putih dengan hijaunya sampul
Aku rindu kalian...
Bercerita tentang cinta...cita...gempita...
Aku rindu kalian
Kalian.......bukan kamu

Senin, 17 Januari 2011

Kulewati Malam Pertamaku Bersama Waria (part I)


Perempatan kecil Carrefour (dulu Alfa) sektor IX belok kanan (dari arah kampus STAN), itulah tempat mangkal beberapa waria, mereka beroperasi sejak jam 12 malam setiap hari (kecuali hari khusus, ex:Lebaran). Saat Sabtu malam, lebih banyak lagi ”pengunjung”nya. Jumlah mereka sekitar 10-15 orang, setiap kurang lebih 10 meter mereka berdiri mencoba menawarkan ”jasa”.

Kalau menemui mereka saat jam-jam ”kerja”, hampir dipastikan kita akan dianggap ingin memperoleh ”jasa” mereka. Malam pertama itu contohnya, aku dan temanku mencoba iseng-iseng ingin mengorek sesuatu dari Mbak (Mbak atau Mas ya?) Waria di situ. Alhamdulillah kami mendapat setting yang tepat untuk melakukan investigasi. Sebuah warung dengan tempat duduk yang cukup lebar.

”Beli rokok donk, Mas (Mas...mas... kapan aku nikah sama mbakmu-batinku lirih)”, pinta Sang Waria sebut saja namanya Iin (bukan nama sebenarnya)
”Saya nggak ngerokok, Mbak”. Jawabku antara bingung manggil Mbak atau Mas.

Kita saling ta’aruf sambil ada ”pelecehan” dikit-dikit yang hampirku dapat kalau tidak tangan copetku berhasil mengendalikan situasi. Malah temanku yang duduk bersama Yeni (bukan nama asli), sudah terkena ”pelecehan” itu (tidak perlu diceritakan bentuknya, bisa muntah delapan hari kalau membayangkan). Baju khas Jawa yang melekat di tubuhku cukup membuat Iin mengenal aku Wong Jowo. Cuma paduan kendaraan Yamaha Mio Merah yang membuat casing Jawaku tidak bisa terlihat natural, kalau saat itu memakai sepeda kumbang Sukarno-ku mungkin sudah pasti Iin bakalan misuh-misuh (ngumpat-ngumpat-red), Wong Jowo Gemblung!!!!

10 menit berlalu, kami hanya melewati 10 menit malam pertama itu dengan mengenal keluarga Iin. Iin ini cerdas, dia sadar bahwa aku ngobrol dengannya bukan untuk memperoleh ”jasa”nya, dan ternyata dia adalah Koordinator Kewariaan di lingkungan itu dan sering berkoordinasi dengan pemerintah mengenai penyuluhan-penyuluhan untuk waria. Boleh dibilang dia ini aktivis DPW (Dewan Persatuan Waria) setempat. Iin juga terbilang highclass, dia mengaku omset (susah pakai bahasa lain) tiap bulannya bisa sampai jutaan. Untuk perawatan tubuh saja Iin bisa mengeluarkan sampai Rp 300 ribu per minggu, belum biaya hidup keluarganya. Oya, Iin ini punya anak angkat lho!!! Iin tidak mempunyai penghasilan lain selain dari ”job”nya ini. Seorang pengguna jasanya pernah memberikan sampai Rp 2 juta karena Sang Om ternyata merekam Syaithan Activity mereka dan ketahuan Iin (kena deh...!!!).