Saya sudah lama gak menulis, yah
demi sebuah perubahan, mulai hari ini saya coba menulis sesuatu. 1 hari 1
tulisan. Hal yang paling mudah adalah menulis kisah diri sendiri, dan hal yang
paling menarik dari diri sendiri adalah KENANGAN…dan kenangan yang paling
menarik adalah kenangan masa SMA.. :D
Ya, memang sangat panjang kisah
saat SMA, tapi daripada saya ga mulai-mulai buat menulis, ada baiknya saya
menulis soal masa SMA, buat awalan. Nah, kalau saya tulis semua, pasti capek,
tulis yang menarik aja dikit lah.
Saya ingat hari itu adalah
Pengumuman Kelulusan angkatan kami, 2005. Seminggu yang lalu saya sudah
woroworo ke semua ketua kelas dan orang yang saya kenal ataupun ga kenal buat
bawa sepeda ontel ke sekolah. Kita akan pawai keliling kota merayakan kelulusan
100% kita. Kalau tidak 100%, pawai batal. Kenapa sepeda? Pemikiran saya
sederhana, tidak merusak polusi, hampir semua orang punya, saat itu bensin
langka dan sedang naik. Tapi yang paling utama adalah saya hanya ingin SMA kami
memberikan contoh kepada SMA lain bahwa kelulusan tak harus dengan coret-coret
baju kemudian pawai dengan motor. Hal itu pasti mengganggu keselamatan dan
kenyamanan diri sendiri dan orang lain.
Tak terasa hari sudah semakin
panas hingga membuat sejuknya udara Kudus saat itu terusik kehadiran matahari
jam 9 pagi. Semua sudah di posisi tempat titik kumpul di dalam sekolah (sepeda parkir
di dalam sekolah), sekitar kurang lebih 70-an sepeda siap melakukan pawai
keliling Kudus. Persiapan pawai ini memang mengalir begitu saja. Kalau boleh
dibilang, mantan pengurus OSIS lah yang banyak bergerak mempersiapkan ini.
Setiap ketua kelas saya cek,
apakah sudah memastikan sekelas lulus semua atau tidak. Ada 10 kelas yang harus
dicek. Dan Alhamdulillah, setelah dicek, kami lulus 100%. Pengecekan ini cukup
makan waktu, tapi memang itu yang bisa kita lakukan, guru-guru tidak ada yang
mau memberikan info soal ini. Pawai ini rupanya sudah diketahui para guru, dan
mereka tidak setuju.
Sekarang semua sudah siap
meluncur, tapi tiba-tiba Pembina OSIS SMA kami memanggil mantan ketua OSIS kami
dan koordinator pawai ini. Hendrawan, mantan ketua OSIS kami mengajak saya,
Amin, dan Saiz untuk menghadapi panggilan itu. Kami dibawa ke ruang BP, disana
sudah ada Kasbiyanto, guru yang terkenal killer, mantan Pembina OSIS yang saat
itu sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Humas. Diskusi berlangsung alot, saya
sudah menjelaskan alasan-alasan kami melakukan pawai ini, mereka tidak terima
dan Kasbiyanto sebagai seorang killer mengatakan “Sampai mati pun saya ga akan
menyetujui pawai ini”. Alasan keamanan menjadi hal yang membuat mereka tidak
menyetujui pawai ini, dan selama sejarah SMA kami, ga pernah ada pawai
kelulusan, dan ini akan mencoreng nama baik SMA. Kalau saat itu ada istilah “Lebay”,
saya akan mengatakan itu pada Kasbiyanto…hahaha
Merasa gagal melobi saya dan
kawan-kawan, kami kemudian dibawa menghadap ke Kepala Sekolah, Drs H Makmun,
begitulah nama kepala sekolah kami. Diskusi masih sama dan alasan saya juga
masih sama, hasilnya pun sama: kepala sekolah melarang. Saya, Hendrawan, Amin
dan Saiz hampir putus asa. Gagal…gagal ini pawai. Tapi saya mulai kesal juga
dengan mimik wajah kemenangan Pembina OSIS saya, saya yakin, ini bisa dilawan. Akhirnya
saya minta waktu ke Kepala Sekolah untuk bertemu dengan “Pasukan Bersepeda”
yang sudah siap berangkat. Saya ajak mereka berkumpul dan saya sampaikan,
“teman-teman, saya dan perwakilan
kita dipanggil sama Kepala Sekolah dan Pembina OSIS, kita nggak boleh untuk
pawai, alasan keamanan dan nama baik sekolah. Sepanjang sejarah SMA 1 Kudus,
belum pernah ada yang pawai setelah kelulusan. Dan mereka takut kalau kita ada
apa-apa di jalan kalau bertemu dengan SMA lain. Saya serahkan ke teman-teman
baiknya gimana, tapi kalau saya, saya akan tetap berangkat, entah itu
dibolehkan atau tidak. Sejarah hanyalah sejarah, justru kita nanti yang akan
membuat sejarah sebagai angkatan yang pawai untuk pertama kalinya.”
Tak ada satupun yang menolak usul
saya saat itu, mereka siap berangkat, dengan ijin Kepala Sekolah atau tidak.
Dan bahkan sebelum saya menghadap kepala sekolah lagi, ada satu teman saya,
Fahmi yang sepedanya dilempar bata oleh Kasbiyanto karena dianggap mengejek
beliau di lapangan sekolahan.
Kami kembali menghadap kepala
sekolah yang didampingi Pembina OSIS, kami sampaikan, diijinkan atau tidak,
kami akan tetap berangkat. Drs H Makmun sempat terkejut mendengar keputusan
kami, mungkin selama ini, murid-murid terlihat taat di tangannya. Tapi ini beda
Bung!! Pembina OSIS dan Kepsek berembug cukup lama. Terlihat wajah Pembina OSIS
mulai tersenyum kecut,
“OK, kalian berangkat dengan 1
syarat, kalian harus dikawal polisi, saya yang sediakan polisinya”, Sang
Pembina OSIS mulai beranjak pergi dan menelepon kantor polisi.
Saya girang bukan kepalang,
sejarah akan terjadi. Kalau mau sedikit bercerita, SMA saya ini tempat sekolah
anak dari salah satu orang terkaya se-Kudus, tempat sekolah anak dari orang
terpandang se-Kudus, tempat sekolah anak dari Kepala Kejaksaan Kudus, tempat
sekolah anak dari pejabat-pejabat di Kudus. Sepatu hitam dan kerapian menjadi ciri
khas kami, tidak neko-neko, penuh prestasi, dari nasional, sampai
internasional. Jadi bisa bayangkan sendiri begitu prestise nya sekolah ini. Dan
pawai adalah hal yang bisa jadi merusak prestise itu.
Pawai dimulai. Rute kami tak
terlalu jauh, mungkin sekitar 1 jam bersepeda dengan kecepatan pelan karena
beruntutan. Saya sampaikan ke teman-teman untuk berjalan hanya 1 banjar saja,
jadi tidak mengganggu perjalanan pengguna jalan lain. Di jalan kami bertemu
dengan SMA lain yang pawai menggunakan sepeda motor dengan suar knalpot menggelegar,
baju dicoret-coret, tanpa helm. Saya ga bergidik sedikit pun, karena saya yakin
mereka ga akan mengganggu kami. Benar, mereka malah mengacungkan jempol kepada
kami dan saling sapa. Dan kalau boleh sedikit membuka rahasia, beberapa siswa
kami sebenarnya adalah “penjahat”, dan yang pawai sebenarnya juga sedikit banyak
mengenal rombongan kami.
Di jalan kami bertemu warga yang
menyaksikan kami dengan pakaian rapi bersepeda, komentar yang positif selalu keluar,
“apik mas, ngono yo joss”, “ancen bedo mas SMA 1 Kudus karo liyane”, dan
lainnya. Ya, kekhawatiran berlebihan dari Kepsek atau Pembina OSIS ga pernah
terjadi dan malah terbalikkan. Kami pun kembali ke sekolah dengan tenang, di
depan sekolah berjajar bus untuk mengantar adik-adik kelas kami yang
bersiap-siap study tour ke Bali. Masih teringat jelas wajah mereka tersenyum sambil
bertanya-tanya.
Sebelum aksi massa ini, di tahun 2004, demonstrasi nyaris kami lakukan. Ini karena kelas 3 masih ditarik iuran untuk pembangunan sekolah. Janji sekolah, tahun 2003 adalah tahun terakhir angkatan kami ditarik iuran pembangunan sekolah. Saya sempat mengumpulkan semua ketua kelas 3 dan beberapa orang berpengaruh di SMA kami, kami siapkan rencana demo. Tapi saya salah, rupanya ada satu pengkhianat diantara kami yang melaporkan rencana-rencana kami ke pihak Guru dan Kepala sekolah. Kami semua yang hadir di pertemuan itu dipanggil, dan akhirnya hanya berakhir di forum diskusi "penggunaan dana pembangunan sekolah". Sejak saat itu, orang yang saya percaya di SMA itu hanya 1 orang, saya sendiri.
Terima kasih Pembina OSIS yang
menyediakan polisi untuk kami, dan terima kasih juga Pak Polisi yang mengawal
kami. Kenangan bersama angkatan kami, pawai kami, kepanasan kami, menjadi
headline Radar Kudus Jawa Pos dan terpampang foto kami yang bersepeda dengan
tulisan “Bensin Habis”. Sejarah tak pernah berarti tanpa perjuangan dan
perlawanan. Ya, Sejarah.